
Manado, FOXKAWANUA.COM
Si Manis “Gratis” dan Realitas Pahit di Balik Panggung Miliaran
Malam itu, Kawasan Megamas Manado berdengung. Anya, seorang mahasiswi tingkat akhir, berdesakan di tengah lautan manusia. Matanya terpaku pada poster raksasa “Pesta Rakyat 2” yang ia lihat di media sosial. GRATIS. Dua nama besar Judika dan Whisnu Santika sudah cukup untuk membuatnya melupakan sejenak tagihan UKT dan biaya riset skripsinya.
Di atas panggung, Judika melantunkan nada tinggi dengan sempurna. Anya ikut bernyanyi, merekam, dan mengunggah. Di sebelah kanannya, seorang bapak paruh baya yang sehari-hari menarik ojek online, ikut bertepuk tangan. Keduanya disatukan oleh euforia kolektif.
Di latar belakang panggung yang gemerlap itu, empat logo menonjol: BNI, BTN, Mandiri, dan BRI.
Ini adalah sebuah kisah tentang dua realitas yang berjalan paralel di Sulawesi Utara. Kisah pertama adalah pesta meriah ini. Kisah kedua, adalah angka-angka yang jarang sekali naik ke atas panggung.
Biaya Pesta
Mari kita gunakan akal sehat dan data publik untuk menghitung. “Gratis” tidak pernah berarti “tanpa biaya”. Itu hanya berarti “biayanya ditanggung orang lain”. Dalam hal ini, “orang lain” itu adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Poster itu mencantumkan puluhan nama.
Kita ambil satu sebagai patokan. Dalam berbagai diskusi di industri musik yang pernah diungkap oleh musisi Ahmad Dhani honor seorang artis sekaliber Judika untuk satu event besar bisa menyentuh angka Rp 1,5 miliar. Itu baru satu nama. Kalikan dengan puluhan artis dan influencer lain (Winky Wirawan, Roy Jeconiah, dll), biaya produksi (panggung, suara, lighting) sekelas Megamas, dan biaya logistik. Angka puluhan miliar rupiah untuk satu malam adalah estimasi yang sangat konservatif.
Dari mana uang itu? Dari laba BUMN.
Mari kita lihat “dompet” para sponsor. Berdasarkan laporan keuangan 2024, laba bersih BRI (konsolidasi) mencapai Rp 60,64 triliun. Laba Bank Mandiri (2023) Rp 59 triliun. Laba BNI (2024) Rp 21,5 triliun. Laba BTN (2024) sekitar Rp 3,7 triliun.
Secara kolektif, bank-bank BUMN ini adalah mesin pencetak uang. Mengeluarkan puluhan miliar untuk “Pesta Rakyat” adalah seperti uang receh bagi mereka. Tapi, di sinilah cerita kedua dimulai.
Realitas di Luar Megamas
Saat Anya dan bapak ojek tadi pulang, mereka kembali ke realitas Sulawesi Utara yang sebenarnya.
Fakta Kemiskinan: Menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, angka kemiskinan di Sulawesi Utara adalah 6,71%. Angka ini mungkin terdengar kecil, tapi mari kita terjemahkan. Itu berarti ada 173.840 orang di provinsi ini yang hidup di bawah Garis Kemiskinan. BPS juga mencatat, Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin di Sulut rata-rata adalah Rp 2.789.399 per bulan.
Bandingkan dua angka ini. Biaya satu artis (Judika, Rp 1,5 Miliar) setara dengan memberi “gaji” atau modal usaha penuh selama sebulan untuk 537 keluarga yang hidup di garis kemiskinan absolut.
Fakta Infrastruktur: Bapak ojek yang tadi bertepuk tangan, esok paginya akan kembali bermanuver di jalanan yang mungkin berlubang. Ironisnya, di tahun yang sama (2025), BPK RI Perwakilan Sulut mencatat bahwa alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik untuk infrastruktur jalan di Sulawesi Utara tidak ada, alias nol. Anggarannya berkurang drastis.
Kita menciptakan sebuah paradoks sosial: kita mampu mendanai panggung sound system kelas nasional yang bergetar semalam, tapi kita tidak punya anggaran untuk menambal aspal jalan yang dilalui rakyat setiap hari.
Mengapa Ini Terjadi? “Panem et Circenses” dan Pemrograman Pikiran
Ini bukan kecelakaan, ini adalah strategi.
Dalam sejarah Romawi Kuno, penyair satiris Juvenal menciptakan istilah “Panem et Circenses” atau “Roti dan Sirkus”. Ini adalah formula politik untuk menjaga massa tetap tenang dan patuh. Beri mereka hiburan (sirkus) dan kebutuhan dasar (roti), dan mereka tidak akan peduli pada korupsi atau kegagalan tata kelola yang lebih besar.
Dalam konteks modern, BUMN sedang mempraktikkan “Sirkus” ini dengan sempurna.
Ini lebih dalam dari sekadar branding. Ini adalah penerapan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory). BUMN yang notabene adalah bank tempat kita menabung, meminjam, dan membayar biaya admin memberikan “hadiah” berupa konser gratis.
Apa dampaknya?
Secara psikologis, kita jadi sungkan untuk mengkritik. Bagaimana Anda bisa protes soal biaya admin BNI yang tinggi, jika BNI baru saja “mentraktir” Anda nonton Judika?
Ini adalah manufacturing consent (manufaktur persetujuan), istilah yang dipopulerkan Noam Chomsky. Kita “diprogram” untuk mengasosiasikan BUMN dengan kebahagiaan, euforia, dan kemeriahan. Kita lupa bahwa fungsi utama BUMN adalah sebagai agen pembangunan (agent of development), bukan event organizer.
Influencer dan artis menjadi tolok ukur sukses. Uang miliaran dari dana publik (yang seharusnya bisa jadi beasiswa atau modal UMKM) lebih “bermanfaat” jika dibayarkan untuk fee artis, karena dampaknya (yaitu keriaan massa) bisa langsung terlihat dan diviralkan.
Pesta Rakyat yang Sehat Seharusnya Seperti Apa?
Sebuah “Pesta Rakyat” yang sehat tidak diukur dari seberapa mahal artis yang diimpor dari Jakarta.
Pesta Rakyat yang sehat adalah ketika 173.840 warga miskin di Sulut berkurang separuhnya karena dana BUMN dipakai untuk program pemberdayaan UMKM yang terukur.
Pesta Rakyat yang sehat adalah ketika anak-anak di pedesaan Bolmong atau Sangihe memiliki akses internet dan sekolah yang setara dengan yang di Manado, didanai dari laba ratusan triliun BUMN.
Pesta Rakyat yang sehat adalah ketika panggung itu diisi oleh talenta lokal, sanggar seni, dan produk UMKM Sulut, di mana uang miliaran itu berputar di ekonomi lokal, bukan terbang kembali ke Ibu Kota setelah acara selesai.
Apa yang kita saksikan di Megamas adalah hiburan yang luar biasa, tapi itu bukan Pesta Rakyat. Itu adalah Pesta Korporasi yang dibayar dengan uang yang seharusnya menjadi milik rakyat.
Anya mungkin senang malam itu. Tapi edukasi yang sesungguhnya adalah menyadarkannya bahwa biaya handphone yang ia angkat untuk merekam, kemegahan panggung di depannya, dan jalan berlubang yang akan ia lewati saat pulang, semuanya terhubung dalam satu neraca anggaran yang ironis.
Opini Oleh:
Cintya W, SE.
Tidak ada komentar