Orang Jepang Awasi 2.000 Yaki di Sulut

FOX News
1 Okt 2016 13:19
3 menit membaca
Aktivitas Yaki (macaca nigra) yang banyak dilakukan di atas tanah. (mardi)

TELEGRAF- Keberadaan dan kelangsungan hiudp Yaki atau (Macaca nigra), dilindungi UU RI No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah RI No.7 Tahun 1999, namun ada saja kebiasaan beberapa warga Sulawesi Utara mengonsumsi yaki alias monyet si pantat merah ini.

Dibeberapa pasar ekstrem, bisa ditemukan Yaki yang diperjualbelikan ketika memasuki Natal dan Tahun baru di Sulawesi Utara.
Kondisi ini membuat, populasi Yaki yang hidup di Cagar Alam Hutan Tangkoko, sebagai habitatynya, Yaki terancam punah alias kritis.
Antisipasi perburuan liar, hewan yang dilindungi ini, dua orang petugas lapangan Hutan Tangkoko dibantu 54 warga lokal yang bermukim di sekitar hutan tersebut, serta ada juga warga Jepang, bekerja ekstra keras memutus mata rantai perburuan liar.
“Kendala kami memang SDM. Dari luas hutan 4.446 hektar, 3.196 hektar diantaranya adalah kawasan konservasi Cagar Alam Hutan Tangkoko, perlu perhatian serius,” ujar Richard Tinangor, salah satu petugas di Cagar Alam Tangkoko kepada Telegrafnews, akhir pekan lalu.
Tapi, kata Tinangor, dengan bantuan warga lokal dan peneliti asal Jepang untuk menjaga yaki dan satwa lainnya di dalam hutan, kini populasi Yaki lumayan terselamatkan.
“10 sudah, peniliti asal Jepang itu, tinggal di dalam hutan, demi menjaga populasi yaki dan tujuan utamanya (meneliti),” jelas Tinangor.
Sekira 5.000 Yaki yang hidup tersebar di Sulawesi Utara, ada 2.000 ekor lebih berada di dalam Hutan Tangkoko, sebagai habitat asli mereka.
“Seiring waktu dan gencarnya perburuan serta tingginya pengawasan, populasi Yaki di Hutan Tangkoko,sangat memperlihatkan hasil yang menakjubkan, beberapa Yaki kini melahirkan. Semoga kesadaran kita bersama, Yaki dapat terselamatkan dari kepunahan,” ungkap Tinangor.
Pantauan Telegrafnews, belum lama ini untuk melihat langsung kehidupan Yaki di Cagar Alam Tangkoko, memang terlihat ada beberapa Yaki memiliki anak baru.
Sejak pagi hingga menjelang malam, Yaki tergolong hewan semiarboreal dan teresterial, tak hanya menghabiskan waktu di atas pohon. Kumpulan hewan dilindungi ini, lebih memilih beraktivitas di atas tanah.
Biasanya Yaki beraktivitas beramai-ramai, terkadang kedua kakinya digunakan untuk berjalan seperti (bipedal),  bahkan sering juga bergelantung (brankiasi), serta memanjat. Yaki juga tergolong hewan diurnal, dimana totalitas gerak mereka berjalan di bawah pohon.
Soal konsumsi makanan, Yaki doyan memakan daun, buah-buahan, ular sampai tikus hutan. Secara genetik, ciri dan karatker tubuh Yaki berebda dengan spesies lainnya. Tingginya antara  44-60 cm, bobot badan mencapai 7-15 kilogram, ukuran mereka terbilang besar dibandingkan monyet lainnya yang mendiami kawasan-kawasan hutan di Sulawesi.

Kulit Yaki berwarna hitam gelap, bulu hitam berkilau, menutupi seluruh tubuhnya, terkecuali wajah, telapak tangan, dan pantat. Moncongnya terlihat menonjol dibandingkan spesies sejenis.
Ciri khas lainnya, berkeapa hitam, bejambud seperti gaya rambut model punk. Ekor Yaki berukuran 20 centimeter, berbeda dengan kera-kera jenis lain yang umumnya memiliki ekor relatif panjang, sehingga, mereka sekilas akan nampak tidak memiliki ekor.
Selain itu, ciri menonjolnya pada pantat berwarna merah muda. Tunggingnya seperti ginjal, karakrer warna kuning. Khusus Yaki betina, waranya lebih pucat, sementara Yaki jantan dewasa penisnya berwarna merah mudah.
Di Cagar Alam Tangkoko, tak hanya Yaki, beragam spesies hewan dilindungi juga hidup di sana. Diantaranyam, spesies beringin (Ficus spp), Duabanga moluccana Palaquium obtusifolium), edelweis (Anaphalis javanicum Nephentes gynamphora). Ada juga rusa (Cervus timorensis), Tarsius spectrum), Maleo, dan masih banyak lagi lainnya.
Menurut Wali Kota Bitung Max Lomban, sebenarnya masih banyak flora dan fauna di Hutan Tangkoko yang unik dan belum terdeteksi.
“Jadi kalau mau jadi peneliti dan mendapatkan floran atau fauna terbaru, silahkan diberi nama sendiri dan kami sangat suka itu,” ungkap Lomban belum lama ini. (mardi)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *