![]() |
Hanny Wajong. (mardi/telegrafnews) |
TELEGRAF- Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sulut, buah pala turun 12,50% dari Rp80.000/Kg menjadi Rp70.000/Kg. Demikian pala fuli turun tipis dari Rp120.000/Kg kini dipatok Rp110.000/Kg, atau mengalami penurunan sebesar 8,33%.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri (Kabid Dagri) Disperindag Sulut Hanny Wajong menjelaskan, turunnya harga pala tak lain penyebabnya adalah terimbas pada hukum ekonomi.
“Semakin tinggi produksi, harga akan melesu. Hal ini salah satu penyebab anjloknya harga pala saat ini,” ujar Hanny di ruang kerjanya pada telegrafnews.co, Senin, (24/10) 2016.
Pala, lanjut Hanny, merupakan salah satu komoditi ekspor andalan Sulut. Seperti diketahui, olahan pala di dalam negeri itu masih kurang, karenanya saat ini pasar pala masih mendominasi ke sektor ekspor.
“Harapan kami dengan turunnya harga pala karena produksi subur. Tak ada salahnya instansi atau swasta memanfaatkan pala sebagai komoditi pasar dari berbagai sektor olahan, agar harga pala tetap terjaga,” terang Hanny.
Seperti diketahui, data terbaru realisasi ekspor Sulut pada 19 negara di September 2016, 9 komoditi Sulut sebesar 10.588,683.60 Kg dengan nilai USD12,653,597.25.
Adapun dari 9 komoditi tersebut, biji pala memberi andil pada realisasi ekspor dengan volume 6.140.483.000 Kg dengan nilai USD10.287.846.820. Demikian dengan bunga pala memberikan sumbangsi sebesar USD172.199.00 dengan volume 14.010.000 Kg.
“Biji pala pada September 2016, negara tujuan itu ada lima, Belanda, Spanyol, Italia, Amerika Serikat, dan Vietnam. Sementara bunga pala ekspor permintaannya dari India,” ungkap Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Disperindag Sulut TH Siregar.
Agus Tajang, salah satu petani pala mengaku, produksi pala saat ini memang membengkak. Wajar harga turun, tapi semoga saja hal ini pemerintah memberikan jalan ke luar agar harga pala tidak terpuruk setiap musim panen tiba.
“Kami sebagai petani harus pintar-pintar mencari sela dan terus mengontrol harga terkini, agar harga jual tetap menguntungkan. Soalnya hasil yang kami dapatkan tidak sepenuhnya milik petani. Harus dibagi lagi ke pemanjat, transportasi, dan lainnya,” pungkas Agus. (mardi)
Tidak ada komentar