Maaf GMNI, Mengukur Kinerja Gubernur Tak Semudah Menghitung Postingan Instagram, Sendouw: Menderita “Gagal Ginjal” Metodologis

FOX News
21 Jun 2025 04:56
5 menit membaca

Manado, FOXKAWANUA.COM
Oleh: Stenly Sendouw


Kritik adalah oksigen bagi demokrasi. Inisiatif kajian yang dilakukan oleh DPC GMNI Manado terhadap 100 hari kerja Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, karenanya, patut dilihat sebagai simtom positif dari sebuah masyarakat sipil yang hidup. Namun, sebagai seorang analis, tugas saya adalah membedah tidak hanya objek yang dikritik, tetapi juga validitas dan kerangka berpikir sang kritikus itu sendiri.

Setelah menelaah secara mendalam temuan dan rekomendasi GMNI, saya sampai pada kesimpulan yang tegas: kajian tersebut, meskipun mungkin dilatari niat baik, menderita cacat metodologis dan kekeliruan teoretis yang fundamental. Ia menawarkan diagnosis yang simplistis dan resep yang, jika diikuti, ironisnya justru dapat membawa pada model pemerintahan yang teralienasi dan tidak efektif. Mari kita bedah secara tuntas.

Bagian I: Ilusi Objektivitas Data – Kesalahan Kategori dalam Metodologi
Landasan utama argumen GMNI adalah klaim bahwa analisis mereka terhadap akun media sosial resmi Pemprov memiliki “kekuatan legal dan legitimasi” berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Argumen ini terdengar meyakinkan, namun secara metodologis keliru. GMNI telah melakukan dua kesalahan fatal:

Kesalahan Proksi (Fallacy of the Proclaimed Proxy): GMNI mengasumsikan bahwa etalase (media sosial) adalah keseluruhan toko (kinerja pemerintah). Mereka menjadikan akun Instagram sebagai proksi atau indikator pengganti dari seluruh aktivitas dan prioritas pemerintah. Dalam studi kebijakan publik, ini adalah sebuah kesesatan. Akun media sosial adalah artefak komunikasi, bukan logbook kerja harian. UU KIP menjamin hak publik untuk tahu, tetapi tidak pernah mendikte bahwa setiap proses teknokratis rapat internal, perumusan draf, lobi kebijakan harus menjadi konten Instagram.
Kesalahan Kategori (Category Error), GMNI menganalisis sebuah produk komunikasi namun menarik kesimpulan tentang sebuah proses tata kelola. Ini seperti menganalisis menu sebuah restoran untuk menyimpulkan seberapa efisien proses memasak di dapurnya. Keduanya terhubung, tetapi tidak identik. Narasi yang dibangun di media sosial adalah hasil kurasi strategis untuk tujuan komunikasi publik, bukan cerminan mentah dari alokasi waktu dan energi seorang pemimpin.

Bagian II: Membongkar Dikotomi Usang “Seremoni vs. Substansi” dengan Landasan Teori
Inti dari kritik GMNI adalah pemisahan kaku antara seremoni dan substansi. Mari kita pinjam dua teori kuat dari ilmu sosial untuk menunjukkan betapa usangnya pemikiran ini.

Teori Modal Sosial (Robert Putnam): GMNI mengakui “pentingnya” kegiatan simbolik untuk diplomasi sosial, namun gagal memahaminya sebagai sebuah investasi strategis. Aktivitas seperti safari keagamaan, kunjungan adat, dan dialog lintas-komunitas adalah proses pembentukan modal sosial.

Di wilayah seplural Sulawesi Utara, modal sosial yang terdiri dari kepercayaan (trust), jaringan (networks), dan norma (norms) adalah infrastruktur tak terlihat yang paling krusial. Tanpa modal sosial yang kuat, kebijakan sebagus apa pun akan kandas akibat konflik dan resistensi. Dengan demikian, kegiatan yang dilabeli “seremoni” ini secara langsung berkontribusi pada indikator RPJMD terkait stabilitas dan harmoni sosial. Itu adalah substansi dalam bentuknya yang paling fundamental.

Teori Pemerintahan Performatif (Performative Governance): Di era modern, kepemimpinan adalah sebuah “pertunjukan” dalam makna sosiologis yang serius. Kehadiran fisik pemimpin saat meresmikan jembatan atau meninjau pasar adalah sebuah ritual akuntabilitas publik. Tindakan ini menerjemahkan janji abstrak kebijakan menjadi realitas yang kasat mata dan dirasakan warga. Ia meneguhkan kembali kontrak sosial antara negara dan rakyat. Menganggapnya sekadar “rutinitas tanpa arah” (seperti disebut GMNI) adalah gagal paham bahwa “performa” ini adalah bagian integral dari fungsi pemerintahan itu sendiri untuk membangun legitimasi dan kepercayaan.

Bagian III: Meninjau Ulang Rekomendasi GMNI – Resep yang Berpotensi Keliru
Dengan kerangka teoretis di atas, mari kita kaji ulang rekomendasi GMNI:
Rekomendasi “Reposisi Prioritas”: Tentu, fokus pada kesejahteraan rakyat adalah tujuan utama. Namun, GMNI mendefinisikan “agenda substantif” secara sempit, seolah-olah itu hanya terjadi di balik meja. Pemerintah yang hanya fokus pada kerja teknokratis tanpa “turun ke bawah” akan menjadi menara gading yang tuli dan buta terhadap realitas sosial. Keseimbangan adalah kuncinya.

Rekomendasi “Penguatan Narasi & Transparansi”: GMNI meminta informasi konkret, bukan seremoni. Ini adalah permintaan yang kontradiktif. Cara paling efektif untuk mengomunikasikan program dan pencapaian strategis kepada publik awam BUKANLAH dengan mengunggah dokumen teknokratis setebal 50 halaman. Justru melalui “dokumentasi seremoni” seorang gubernur menyerahkan bantuan, meresmikan sekolah, berdialog dengan petani pesan-pesan strategis itu dapat dicerna dengan mudah. Yang dibutuhkan bukan meniadakan seremoni, tetapi memperkaya narasinya dengan data dampak yang menyertainya.

Rekomendasi “Penguatan Perencanaan Berbasis RPJMD”: Ini adalah titik terlemah dari argumen GMNI. Mereka mengklaim kegiatan pemerintah tidak terhubung dengan indikator pembangunan. Kegagalan ini bukan terletak pada aktivitas pemerintah, melainkan pada kegagalan GMNI dalam melakukan analisis yang mendalam.

Kajian GMNI, pada akhirnya, adalah sebuah cermin. Bukan cermin dari kinerja pemerintah, melainkan cermin dari cara pandang yang reduksionis dalam menilai kompleksitas tata kelola.
Sebagai penutup, marilah kita ingat kembali jejak pertandingan politik yang baru saja kita lalui. Betapa seringnya publik disuguhi parade angka survei yang diumbar laksana kebenaran absolut. Analisis kuantitatif dangkal ini tak ubahnya gemuruh sorak-sorai penonton di tribun. Ia bising, meriah, dan menciptakan ilusi tentang siapa yang mendominasi permainan.

Tetapi, kita semua tahu, gemuruh itu bukanlah papan skor akhir pertandingan.
Kajian GMNI adalah gemuruh itu. Kebisingan metrik dari tribun. Papan skor yang sesungguhnya adalah angka kemiskinan yang menurun, indeks kebahagiaan yang meningkat, investasi yang masuk, dan stabilitas sosial yang terjaga. Itulah warisan sejati sebuah pemerintahan. Tugas kita bersama sebagai publik yang cerdas adalah mematikan suara bising dari tribun dan fokus membaca papan skor yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *