 |
Sitti H Musa. |
Oleh : Sitti Hardianti Musa (Asisten Ombudsman RI Perwakilan Sulut)
INDONESIA adalah negara majemuk dan plural, kemajumukan membuat Indonesia dengan cepat berkembang menjadi negara demokratis baru pasca reformasi. Dinamika, tantangan dan rintangan, mendera perjalanan perkembangan demokrasi di Indonesia.
Penerapan model demokrasi mengandung arti bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah menuntut partisipasi dan kemandirian masyarakat (lokal) tanpa mengabaikan prinsip persatuan Negara. Desentralisasi dan dekonsentrasi merupakan keniscayaan dalam organisasi negara yang hubungannya bersifat kontinum, artinya penerapan desentralisasi tidak perlu meninggalkan sentralisasi.
Adapun partisipasi dan kemandirian, berkaitan dengan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan atas prakarsa sendiri, yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Hoessein (2001:5) Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dengan demikian desentralisasi menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah, pemberian layanan bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi, otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah. Pergeseran peran pemerintah daerah menuju model demokrasi, tentu menuntut peningkatan kualitas pelayanan publik. Keterlibatan masyarakat lokal atas prakarsa sendiri menjadi sangat strategis dan menentukan peningkatan kualitas pelayanan yang mereka terima.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 mendefinisikan pelayanan publik sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan, dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan Lewis dan Gilman (2005:22) mendefinisikan pelayanan publik sebagai kepercayaan publik. Warga negara berharap pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pelayanan publik yang adil dan dapat dipertanggung-jawabkan menghasilkan kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan publik sebagai dasar mewujudkan pemerintah yang baik.
Dalam konteks ini, pelayanan publik harusnya lebih responsif terhadap kepentingan publik. Namun pada praktiknya, masih banyak masyarakat/pelapor mengalami dan merasakan adanya tindakan penyimpangan dan penyelewengan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini dilihat dari masih banyaknya penyelenggara Negara, tidak melayani tetapi minta dilayani, masyarakat dijadikan sebagai objek, proses birokrasi pemerintah panjang dan berbeli-belit sehingga besar kemungkinan menimbulkan biaya yang tinggi, terjadinya penyalagunaan wewenang yang berimbas pada penundaaan berlarut, KKN, perlakuan deskriminatif dan sebagainya, serta tidak ada tolok ukur jelas mengenai pemberian pelayanan.
Atas dasar itu, diwujudkanlah UU Pelayanan Publik, dan menegaskan eksistensi Ombudsman sebagai pengawas eksternal birokrasi pelayanan publik. Ombudsman sebagai pengawas eksternal, sesuai UU No 37 Tahun 2008 pasal 1 angka 1 Ombudsman adalah lembaga negara, mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Dengan demikian Ombudsman sangat berperan dalam mewujudkan cita-cita Negara untuk mewujudkan pemerintah yang berkeadilan dan kesejahteraan masyarakat. Ombdusman dituntut dalam perbaikan pelayanan publik, dan hal ini juga selaras dengan adanya keterwakilan ombudsman disetiap daerah. Dalam membantu aparatur Negara melaksanakan pemerintahan/pelayanan publik, serta mengahadapi penyalahgunaan wewenang oleh aparatur Negara dan memaksa para pemegang kekuasaan, menjalankan role pemerintahan yang baik. Sudah banyak upaya-upaya dilakukan ombdusman, diantaranya melakukan penilaian atau uji kepatuhan kepada pemerintah daerah terhadap pemenuhan standar pelayanan publik sesuai UU No 25 tahun 2009.
Di Sulawesi Utara misalnya, sepanjang 2016 Ombudsman RI, telah melakukan penilaian kepatuhan dibeberapa kabupaten/kota dan provinsi. Hasilnya, penilaian diberi warna merah buruk, kuning sedang, dan hijau. Ini menjadi warning ke pemerintah, melakukan perubahan pelayanan.
Atas penilaian itu, kepala-kepala daerah, memberikan respon postitif. Salah satunya, di Kota Manado, mereka memberikan saran, penilaian kepatuhan sebaiknya juga dinilai sampai pada tingkat kecamatan, sehingga pelayanan publik lebih dapat diawasi. Pada bidang pelayanan publik, kecenderungan ini terlihat dari tekanan masyarakat mengharapkan pelayanan publik yang berkualitas. Dalam konteks desentralisasi, pelayanan publik akan dapat lebih responsif apabila otonomi daerah juga dapat mendorong adanya desentralisasi fungsional.
Melalui kebijakan pelaksanaan otonomi, pemerintah pusat telah mengalihkan kewenangannya kepada kabupaten dan kota, mengelola kegiatan pemerintahannya secara otonom, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan, moneter, agama, kehakiman, hubungan luar negeri, dan lintas kabupaten/kota.
Ombudsman dalam perbaikan sistem pelayanan publik, wajib menyampaikan saran/masukan kepada presiden, kepala daerah atau pimpinan penyelenggaraan negara lainnya, guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik, serta menyampaikan saran kepada DPR, Presiden atau DPRD/kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundangundangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah maladministrasi (Pasal 8 ayat 2 UU No. 37 tahun 2008).
Penyelenggaraan pelayanan publik akan lebih berkualitas bila pelaksanaan sistem otonomi daerah, berjalan dengan baik. Memperbaiki sistem otonomi daerah sama halnya dengan mempermudah masyarakat dalam hal pelayanan, menjunjung nilai atau etika dalam sebuah sistem birokrasi yang ada di pusat mapun di daerah, sebagaimana tertuang dalam sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Merefleksi 17 tahun lahirnya lembaga independen yang menjadi partner pemerintah dalam mengawasi aparatur Negara, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengajak masyarakat, melakukan gerakan ANTI MALADMINISTRASI di seluruh instansi penyelenggara pelayan publik demi Indonesia yang adil dan sejahtera. (*)
Tidak ada komentar