Talaud, FOXKAWANUA.COM
Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kepulauan Talaud yang digelar 9 April 2025 kembali memantik drama politik yang seakan tak kunjung usai. Pasangan Irwan Hasan – Haroni Mamentiwalo (IH–HM), meskipun menang di PSU dengan perolehan 1.510 suara berbanding 1.112 dari rivalnya, tetap kalah secara total setelah suara PSU digabungkan dengan hasil dari kecamatan lain.
Hasil akhirnya jelas: Paslon Welly Titah – Anisya G. Bambungan (WT–AGB) yang diusung PDI Perjuangan, dinyatakan pemenang Pilkada Talaud dengan keunggulan tipis, yakni selisih 738 suara. Namun, alih-alih menerima hasil demokrasi ini, Paslon IH–HM kembali mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini menjadi yang kedua kalinya, dan ironisnya, PSU sendiri hanya terjadi karena mereka sebelumnya juga menggugat.
Ini memunculkan pertanyaan yang tak bisa diabaikan publik: Apakah ini perjuangan menuntut keadilan atau sekadar kegagalan menerima kekalahan?
Antara Hak Konstitusional dan Etika Demokrasi
Secara hukum, setiap pasangan calon berhak mengajukan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Tapi dalam praktik demokrasi yang sehat, gugatan tak seharusnya menjadi alat untuk menolak realitas politik hanya karena hasil tak memihak.
Jika gugatan berulang menjadi pola, kita patut waspada terhadap gejala “delegitimasi sistematis” terhadap institusi pemilu. Hal ini tidak hanya mencederai kredibilitas penyelenggara pemilu, tetapi juga merusak semangat rakyat yang sudah menyalurkan suara secara sah dan jujur.
Bagaimana Jika Keduanya Bermain Curang?
Satu hal yang makin menyita perhatian adalah asumsi publik bahwa kedua pasangan calon mungkin saja sama-sama tidak bersih. Jika terbukti ada kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dari kedua pihak, maka Mahkamah Konstitusi memiliki dasar hukum untuk mengambil langkah ekstrem:
Membatalkan kemenangan keduanya;
Mendiskualifikasi pasangan calon yang terbukti curang;
Bahkan memerintahkan pilkada ulang dengan pasangan calon yang baru.
Pasal-pasal dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2024 memberikan MK kewenangan luas untuk menjaga integritas pilkada, bukan sekadar menghitung suara.
Rakyat Butuh Kepastian, Bukan Polemik Tak Berujung
Yang dilupakan oleh para elite politik saat menggugat berulang-ulang adalah nasib rakyat. Pemerintahan yang tak kunjung definitif membuat pembangunan tersandera, program tak berjalan, dan kepercayaan publik merosot.
Talaud tak butuh pelapor abadi yang menjadikan demokrasi sebagai panggung gugatan tak berkesudahan. Talaud butuh pemimpin—yang menang dengan sah, bekerja dengan nyata, dan membangun dengan hati.
“Dalam demokrasi, ada satu hal yang lebih penting dari kemenangan: menerima kekalahan dengan bermartabat.”
Jika gugatan terus digunakan sebagai senjata politik, maka yang dirugikan bukan hanya lawan, tapi seluruh rakyat.
oleh: Jeffrey Sorongan (Pengamat Politik Sulut)
Tidak ada komentar