 |
Suasana kegiatan dialog.(foto:telegraf) |
TELEGRAF-Salah satu pembicara pada dialog interaktif yang diselenggarakan Polres Minahasa, DR Wenly Ronal Jeferson Lolong SH MH berpendapat, cara menilai paham radikalisme dari perspektif akademik salah satunya adalah ada potensi bahaya dalam negara, baik dalam kemajuan suatu negara maupun mengedepankan polemik keamanan.
“Itu menurut pandangan akademik. Tapi dikalangan masyarakat ada perbedaan antara radikalisme itu sendiri,” sebut dosen Unima di Fakultas Ilmu Sosial, serta Ketua Prodi Studi Hukum Lemlit Unima ini.
Tentu, kata Ronal, harus ada pemahaman yang sama di masyarakat. Karena jika dikonteks akademik tidak boleh terlalu identik, sedangkan di masyarakat berbeda. Meskipun sesuatu yang radikal sangat diperlukan.
“Kalau di filsafat menggali ilmu. Radikal berasal dari kata radiks. Yang berarti radikal dalam filsafat yakni berpikir sampai ke akar-akarnya. Sebenarnya didalam radikalisme apa yang menjadi persoalan? Masalahnya adalah ketika radikal ini dituangkan dalam bentuk paham ideologi dan merujuk pada kegiatan teror, itu yang jadi persoalan,” jelasnya.
Lebih lanjut dikatakannya, Indonesia pernah punya organisasi radikal, yakni pada waktu itu organisasi itu menuntut agar ada kemerdekaan. Di Inggris juga demikian, ada kelompok the radical, begitu juga dengan perjuangan revolusi Prancis ada kelompok radikal untuk revolusi Prancis.
“Itu merupakan bentuk dari paham radikal. Dan tidak semua hal yang berkaitan dengan radikal merupakan hal negatif. Nah di Indonesia sekarang ataupun di dunia, paham radikal sudah bergeser atau bermuara pada aksi teror,” katanya.
Sekarang, apa penyebab timbulnya radikalisme? Diantaranya yakni timbulnya ketidakadilan terhadap situasi yang ada, kedua dislokasi sosial ekonomis misalnya daerah tertentu surplus dan daerah lain ketidakmerataan pembangunan akhirnya menimbulkan ketidakpuasan, ketiga deprifasi sosiopolitis yakni pemiskinan masyarakat yang lebih dibawah dan memperkaya orang-orang yang memiliki posisi.
“Hal-hal ini akan memicu ketimpangan sosial dan tindak-tindak kriminalitas,” jelasnya.
Sementara, para tokoh yang hadir dan akademisi memberikan solusi bahwa penting sekali pendidikan kewarganegaraan, guna menangkal tersebarnya paham radikalisme negatif. Contoh lain, negara Australia, sesuai survey terbaru, dimana saat ditanya yang lebih penting matematika atau antri, sebagian besar orang tua lebih memilih antri daripada matematika.
“Apakah sepadan kalau dikomperkan dengan matematika? Ternyata orang tua di Australia lebih memilih anak-anak mereka harus antri supaya tidak main tabrak aturan daripada matematika. Ternyata, meskipun matematika adalah syarat penilaian anak itu prestasi/pinter atau tidak, tapi belum menjadi pilihan utama,” ungkap akademisi.
Sementara Kapolres Minahasa AKBP Syamsubair SIK mengatakan, pemahaman-pemahaman yang tepat para tokoh di daerah akan turut membantu menekan angka penyebaran paham radikalisme ini. Dan kalau pemerintah belum mampu melakukan eksperimen hukum, maka butuh bantuan semua tokoh.
“Jangan sampai hanya karena ketidakmerataan pembangunan, memicu pemikiran yang radikal sehingga merusak tatanan di daerah. Jangan sampai hal itu terulang, apalagi radikalisme di bidang agama. Tentu butuh semua kerja keras kalangan masyarakat,” ungkap Kapolres.
Turut hadir dalam dialog interaktif yang dilaksanakan di Moy Restoran Tondano ini, Brigjen Pol Drs Agus Riyanto selaku Karo Penmas Divhumas Polri dan ketua tim dari Mabes Polri, akademisi, mahasiswa, tokoh agama, pemuda, adat, masyarakat, Brigade Manguni Indonesia, Laskar Manguni Indonesia, perwakilan Pemkab Minahasa, lembaga kemahasiswaan. (Martsindy Rasuh)
Tidak ada komentar