Manado, FOXKAWANUA.COM
PT Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Utara Gorontalo (BSG) mencatatkan kinerja keuangan yang spektakuler pada semester I 2025. Laba bersih naik tajam sebesar 48,52% menjadi Rp179,4 miliar, jauh melampaui periode yang sama tahun lalu. Efisiensi operasional yang ketat dan penerapan manajemen berbasis pengetahuan menjadi kunci utama keberhasilan ini.
Namun, ironisnya, di balik pencapaian gemilang tersebut, beredar narasi bahwa sebagian pegawai internal merasa kepemimpinan Direktur Utama Revino M. Pepah “terlalu efisien.” Efisiensi yang dimaksud tidak lain adalah serangkaian langkah strategis dalam menekan beban operasional, meningkatkan produktivitas SDM, dan memangkas pengeluaran tidak produktif—semua dilakukan secara sistematis dan terukur.
Apakah efisiensi bisa menjadi alasan untuk mengganti pemimpin yang sukses? Atau justru bukti bahwa kepemimpinan tersebut berorientasi pada transformasi jangka panjang?
Keberhasilan BSG tidak terjadi secara kebetulan. Jika ditilik lebih dalam, banyak strategi Revino yang selaras dengan prinsip-prinsip Knowledge Management (KM) yang diperkenalkan oleh para praktisi terkemuka seperti Henk T. Sengkey, founder Learning Lab, dan Hotasi Nababan, mantan CEO Merpati Airlines yang kini dikenal sebagai organization practitioner.
Sebagaimana dikemukakan dalam forum Indonesian MAKE (Most Admired Knowledge Enterprises), delapan prinsip utama perusahaan unggul berbasis KM mencakup:
Langkah-langkah strategis Revino M. Pepah selama menjabat—mulai dari peningkatan efisiensi biaya, penurunan rasio BOPO dari 85,13% ke 81,25%, peningkatan NIM menjadi 6,79%, hingga peningkatan ROA dan ROE—menunjukkan bahwa beliau secara konsisten telah menerjemahkan knowledge-based leadership ke dalam operasional nyata di BSG.
Tidak berlebihan jika Revino masuk dalam daftar Top 100 CEO Indonesia Tahun 2024. Di tengah tantangan industri perbankan dan ekspektasi pemangku kepentingan yang tinggi, ia justru mampu menjadikan BSG sebagai teladan bank daerah yang visioner, efisien, dan adaptif.
Peningkatan aset menjadi Rp22,08 triliun, pertumbuhan DPK sebesar 13,76%, serta CASA yang melonjak 29,35% menunjukkan bahwa BSG bukan hanya tumbuh dalam angka, tetapi juga dalam kepercayaan nasabah.
Maka ketika sebagian pihak menyuarakan ketidaknyamanan atas “terlalu banyak efisiensi”, perlu ditinjau apakah resistensi tersebut lahir dari zona nyaman lama yang mulai tergeser oleh budaya kerja baru yang lebih kompetitif dan profesional.
Literatur:
Tidak ada komentar