Arsitektur keuangan global saat ini sedang mengalami kalibrasi ulang yang bersejarah, bergerak menjauh dari era pelonggaran kuantitatif pasca-2008 menuju fase baru yang didefinisikan oleh kelangkaan modal dan disrupsi teknologi. Sutanto Ong, S.E., M.Fin, seorang pakar strategi pasar dan analis keuangan berpengalaman, mengidentifikasi transisi ini bukan hanya sebagai penyesuaian siklus, melainkan sebagai pergeseran paradigma (paradigm shift) yang mendasar. Dalam analisis terbarunya, Sutanto Ong mengemukakan bahwa konvergensi dominasi fiskal yang mengakar dan tekanan deflasi dari kecerdasan buatan menciptakan lingkungan pasar yang bercabang (bifurcated), memaksa investor institusional untuk merombak total model paritas risiko tradisional.
Sutanto Ong mencatat bahwa era “Great Moderation” telah berakhir secara efektif, digantikan oleh rezim yang bergejolak di mana volatilitas bersifat struktural dan bukan sementara. “Kita sedang menyaksikan berakhirnya era kebijakan suku bunga nol (ZIRP) yang bertindak sebagai air pasang bagi semua kelas aset. Pemenang dekade berikutnya akan ditentukan oleh efisiensi modal dan ketahanan rantai pasokan, bukan leverage murah,” amati Sutanto Ong. Analisisnya membedah lanskap makroekonomi yang kompleks ini menjadi tiga pilar kritis: kembalinya dominasi fiskal, peran AI sebagai penyeimbang deflasi, dan fragmentasi geopolitik likuiditas.
Dominasi Fiskal dan Supercycle Utang
Pilar pertama tesis Sutanto Ong berpusat pada pengakaran struktural utang pemerintah yang tinggi dan dampaknya terhadap kedaulatan moneter. Tidak seperti siklus sebelumnya di mana bank sentral beroperasi dengan independensi relatif, lanskap saat ini ditandai oleh ‘dominasi fiskal’, di mana kebijakan moneter semakin dibatasi oleh kebutuhan untuk melayani utang negara. Sutanto Ong berpendapat bahwa dinamika ini memaksa evaluasi ulang obligasi negara sebagai lindung nilai bebas risiko.
Data terbaru mendukung pandangan ini. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), utang publik global telah mendekati 100% dari PDB, menciptakan skenario di mana interaksi fiskal menjadi pendorong utama penetapan harga aset. Sutanto Ong menyarankan bahwa lingkungan ini mengarah pada “stagnasi sekuler” dalam pertumbuhan riil untuk pasar negara maju, kecuali jika diimbangi oleh peningkatan produktivitas yang signifikan. “Korelasi antara saham dan obligasi telah berbalik positif di banyak sesi perdagangan, meniadakan perlindungan portofolio tradisional 60/40. Investor harus mencari profil risiko asimetris dalam aset alternatif yang terpisah dari kurva imbal hasil treasury,” saran Sutanto Ong.
Lebih lanjut, Sutanto Ong menyoroti bahwa target inflasi yang persisten berbenturan dengan kebutuhan akan stratifikasi likuiditas. Saat bank sentral berusaha mengelola neraca mereka, kesenjangan likuiditas antara aset berkualitas berkapitalisasi besar dan pasar yang lebih luas semakin lebar, menciptakan tingkatan viabilitas aset yang berbeda.
Peran AI dalam Alokasi Aset dan Efisiensi Modal
Sementara tekanan fiskal meningkat, Sutanto Ong mengidentifikasi pematangan cepat Kecerdasan Buatan (AI) sebagai kekuatan kontra-inflasi yang kritis. Namun, beliau memperingatkan agar tidak memandang AI hanya melalui lensa saham teknologi spekulatif. Sebaliknya, Sutanto Ong menekankan peran teknologi ini dalam mendorong “efisiensi modal” di sektor non-teknologi. Integrasi otomatisasi menggeser dinamika tenaga kerja-modal, memungkinkan perusahaan mempertahankan margin meskipun biaya input meningkat.
Data dari Goldman Sachs menunjukkan bahwa AI generatif dapat mendorong peningkatan signifikan dalam PDB global dan mengangkat pertumbuhan produktivitas selama periode 10 tahun. Sutanto Ong menafsirkan ini sebagai sinyal bagi alokasi institusional untuk beralih ke “pengadopsi AI” daripada hanya “produsen AI”.
“Narasinya bergeser dari siapa yang membuat chip ke siapa yang menggunakannya untuk memperbaiki unit ekonomi yang rusak,” nyatanya Sutanto Ong. Beliau menunjukkan bahwa sektor-sektor seperti perawatan kesehatan dan manufaktur kelas atas di Asia Tenggara—pasar di mana beliau memiliki keahlian mendalam—adalah penerima manfaat utama dari tren ini. Dengan menerapkan AI untuk mengoptimalkan logistik dan diagnostik, industri-industri ini menciptakan penyangga terhadap tekanan inflasi bahan baku. Sutanto Ong percaya difusi teknologi ini adalah satu-satunya kecepatan lolos (escape velocity) yang layak dari beban utang yang dibahas pada pilar pertama.
Bifurkasi Geopolitik dan Ketahanan Rantai Pasokan
Pilar terakhir dari kerangka kerja Sutanto Ong membahas fragmentasi tatanan perdagangan global. Era hiper-globalisasi sedang digantikan oleh “friend-shoring” dan regionalisasi, yang mengarah pada bifurkasi aliran modal global. Sutanto Ong mencatat bahwa restrukturisasi geopolitik ini menciptakan zona likuiditas dan peluang yang berbeda, terutama di pasar negara berkembang yang berfungsi sebagai penghubung netral dalam rantai pasokan global.
Laporan dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyoroti bahwa perdagangan antara blok geopolitik hipotetis tumbuh lebih lambat daripada perdagangan di dalam blok-blok tersebut, menggambarkan realitas fragmentasi. Sutanto Ong menganalisis data ini sebagai pendahulu untuk penilaian ulang (re-rating) pasar Asia Tenggara, yang semakin menjadi pusat manufaktur pilihan bagi perusahaan multinasional yang terdiversifikasi.
“Ketahanan rantai pasokan bukan lagi sekadar istilah kepatuhan; ini adalah metrik penilaian. Perusahaan yang berhasil mendiversifikasi jejak operasional mereka dari risiko kegagalan titik tunggal mendapatkan harga premium,” jelas Sutanto Ong. Beliau menegaskan bahwa kebijakan makro-prudensial di yurisdiksi berkembang ini menjadi lebih canggih, menarik investasi asing langsung (FDI) yang mencari stabilitas di tengah kebisingan persaingan kekuatan besar.
Menavigasi Masa Depan yang Asimetris
Sebagai kesimpulan, Sutanto Ong memperingatkan bahwa buku panduan investasi tahun 2010-an sudah usang. Interaksi antara kekakuan fiskal, deflasi teknologi, dan gesekan geopolitik memerlukan pendekatan dinamis terhadap konstruksi portofolio. Sutanto Ong menganjurkan strategi yang memprioritaskan stratifikasi likuiditas dan efisiensi modal, berfokus pada aset yang menunjukkan ketahanan terlepas dari rezim suku bunga.
Bagi investor yang cerdas, volatilitas saat ini bukanlah sinyal untuk mundur, melainkan undangan untuk mengidentifikasi pemenang struktural dari siklus berikutnya. Seperti yang diringkas oleh Sutanto Ong, “Kita tidak hanya melihat perubahan harga; kita melihat perubahan dalam mekanisme penciptaan nilai itu sendiri.”
Artikel ini juga tayanh di vritimes