Jakarta, 5 Juni 2025 – Pertumbuhan pesat jumlah investor aset kripto di Indonesia ternyata belum sejalan dengan peningkatan literasi masyarakatnya. Temuan ini, yang diungkap oleh Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 dan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), mengindikasikan adanya potensi risiko bagi investor yang mungkin belum sepenuhnya memahami seluk-beluk aset digital ini.
Dalam SNLIK 2025, aset kripto mulai dimasukkan sebagai bagian dari kategori “Lembaga Jasa Keuangan Lain” dalam metode cakupan Data Nasional Keuangan Inklusif (DNKI). Meskipun ini menjadi sinyal positif atas pengakuan resmi terhadap kripto dalam ekosistem keuangan nasional, kontribusi kripto belum dipecah secara spesifik, sehingga tidak ada data pasti terkait indeks literasi kripto secara terpisah.
Indeks literasi keuangan nasional sendiri tercatat sebesar 66,64%, sementara indeks inklusi keuangan mencapai 92,74%. Namun, sektor-sektor nonkonvensional seperti keuangan syariah dan kripto dinilai masih menghadapi tantangan besar dalam hal literasi. Misalnya, literasi keuangan syariah hanya mencapai 43,42%, yang menjadi indikasi bahwa pemahaman masyarakat terhadap instrumen finansial alternatif masih terbatas.
CEO Tokocrypto, Calvin Kizana, mencermati fenomena ini. Beliau menyatakan bahwa peningkatan jumlah investor perlu diimbangi dengan pemahaman yang memadai mengenai aset kripto itu sendiri. Hal ini penting untuk memastikan investor dapat mengambil keputusan yang informatif dan memitigasi risiko.
“Kami melihat antusiasme masyarakat Indonesia terhadap aset kripto terus meningkat, tetapi ini harus dibarengi dengan edukasi yang memadai. Literasi kripto yang minim berpotensi meningkatkan risiko, terutama bagi investor pemula. Sebagai pelaku industri, kami berkomitmen menjadi garda terdepan dalam menyediakan edukasi yang inklusif, berkelanjutan, dan mudah diakses bagi seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.
Calvin menambahkan bahwa edukasi menjadi pondasi penting bagi keberlangsungan industri kripto di Indonesia, terutama jika negara ini ingin memanfaatkan teknologi blockchain untuk kemajuan ekonomi digital.
“Kalau kita ingin kripto menjadi bagian dari sistem keuangan nasional yang sehat dan berkelanjutan, maka literasi harus menjadi prioritas. Kami percaya bahwa inklusi tanpa literasi hanya akan memperbesar risiko. Karena itu, kami di Tokocrypto terus menggencarkan program edukasi ke komunitas, kampus, dan daerah-daerah,” jelasnya.
Lebih lanjut, Calvin menekankan pentingnya kolaborasi antara sektor swasta, pemerintah, dan institusi pendidikan dalam membangun ekosistem edukasi kripto yang kuat.
“Membangun ekosistem edukasi kripto yang kuat memerlukan kolaborasi erat antara sektor swasta, pemerintah, dan institusi pendidikan. Dengan bersinergi, berbagai pihak dapat bersama-sama mengembangkan program-program pelatihan yang relevan dan mudah diakses, sehingga literasi keuangan digital masyarakat dapat meningkat secara signifikan,” tambahnya.
Hal ini sejalan dengan data terbaru OJK yang menunjukkan pertumbuhan jumlah investor kripto yang signifikan. Hingga April 2025, jumlah pengguna aset kripto di Indonesia mencapai 14,16 juta orang, naik dari 13,71 juta pada Maret. Nilai transaksi kripto pun ikut melonjak, dari Rp 32,45 triliun pada Maret menjadi Rp 35,61 triliun pada April 2025. Saat ini, terdapat 1.444 aset kripto yang terdaftar di OJK.
Meski pertumbuhan ini menjadi bukti meningkatnya inklusi keuangan digital, data SNLIK menyoroti adanya kesenjangan dalam literasi. Segmentasi usia 18–35 tahun memang menunjukkan indeks literasi keuangan yang lebih tinggi (sekitar 73–74%), namun belum ada jaminan bahwa pemahaman terhadap kripto telah menyeluruh, terutama di luar kota besar, di kalangan usia lanjut, serta masyarakat dengan pendidikan rendah.
Beberapa negara di dunia telah mengambil langkah proaktif dalam meningkatkan literasi kripto melalui berbagai inisiatif edukasi yang patut menjadi referensi bagi Indonesia. Singapura, misalnya, melalui universitas-universitas terkemuka seperti National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU), menawarkan kursus-kursus komprehensif terkait blockchain dan kripto. Pemerintah Singapura, melalui Monetary Authority of Singapore (MAS), juga aktif mendukung integrasi teknologi ini dalam sistem pendidikan nasional mereka.
“Sangat penting bagi Indonesia untuk belajar dari pendekatan edukasi kripto yang sukses di negara lain. Dengan jumlah investor kripto yang terus bertumbuh, kita memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa pertumbuhan ini diiringi dengan pemahaman yang mendalam mengenai aset digital,” pungkas Calvin.
Artikel ini juga tayanh di vritimes