 |
Alfian (kemeja putih) dengan rutinitas kerjanya (martsindy) |
TELEGRAF-Alfin Steifan Simeler (28) terhitung 10 tahun mengabdi di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Minahasa sebagai Tenaga Harian Lepas (THL).
Sejak berumur 18 tahun, dirinya bertugas sebagai Tenaga Harian Lepas (THL), di Bidang Pencatatan Sipil, Seksi Pencatatan Kelahiran dan Kematian, banyak mengalami suka duka bahkan pengalaman ketik bergabung di Disdukcapil.
“Saya masuk sebagai honorer sejak 2006 silam. Waktu masuk, kantor sebelumnya berada di samping kantor Dekab Minahasa,” ungkap Alfin kepada Telegrafnews.co, pagi tadi.
Ketika ditanya gaji pokok sebagai honorer, dirinya mengatakan, gaji pokok yang diterima setiap bulan di bawah tanggal 10, sebesar Rp1,5 juta, sedangkan untuk THR natal dan tahun baru biasanya kisaran Rp1,5 juta.
“Jika melihat gaji pokok memang masih kurang, tapi saya juga buka dagangan sampingan, seperti jual pulsa dan lainnya,” sebutnya.
Dirinya berharap, supaya pendapatan/gaji sebagai honorer bisa mendapat perhatian pemerintah. Karena, menurut dia, gaji honorer di kantor pelayanan berbeda dengan kantor lain.
 |
Alfian dan aktivitasnya (foto:martsindy) |
“Siapa tahu bisa distandarisasi dengan gaji UMP,” katanya penuh harap.
Selain itu, dirinya berharap supaya bisa diangkat menjadi PNS atau berstatus pegawai tetap.
“Harapan saya, supaya diangkat sebagai PNS. Karena masa kerja pun sudah 10 tahun,” harapnya.
Suka duka menjadi THL?
Diantaranya, kerja sudah maksimal tapi gaji masih belum bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan, pekerjaan di bidang pelayanan masyarakat seringkali melewati waktu kerja.
Saat melayani warga, kata dia, biasanya kalau ada yang datang dan bertanya hal-hal yang berkaitan dengan keperluan, langsung diarahkan ke penanggungjawab/loket.
Ada juga yang butuh bantuan karena belum mengerti proses pengurusan, dirinya pun turut membantu. “Misalnya pembuatan KK, kami arahkan ke loketnya, begitu juga dengan e-KTP dan sebagainya,” katanya.
Dirinya pun merasa kasihan atau terharu ketika melihat kondisi masyarakat yang datang dari jarak yang sangat jauh ke Disdukcapil.
“Contoh saja, jika ada sejumlah masyarakat yang datang dari daerah Tondano Pantai atau Bukit Tinggi, saya sering merasa kasihan. Kenapa? Karena kalau saja mereka membawa berkas tidak lengkap, akibatnya dokumen belum bisa diproses,” jelasnya.
Seringkali, katanya, saat berhadapan langsung dengan masyarakat, biasanya ketemu dengan yang kurang mengerti dalam pengurusan dokumen maupun berkas, sudah dijelaskan tapi belum juga memahami. Hasilnya mereka disalahkan dan ujung-ujungnya dikomplain. “Tapi meski sudah dikomplain, kami pun tetap melayani kembali,” katanya. Ditambahkannya, untuk jumlah anggota keluarga yang ditanggung ada dua, yang merupakan orang tuanya sendiri. (martsindy rasuh)
Tidak ada komentar