 |
Meidy Tinangon (ist) |
TELEGRAF-Patut dipertanyakan mengapa dengan mudahnya negara memberikan remisi atau pengurangan hukuman kepada para terpidana kasus terorisme? “Remisi yang dengan mudah diberikan merupakan pertanda bahwa instrumen hukum di negara ini masih menganggap terorisme sebagai kejahatan biasa,” tutur Ketua DPD GAMKI Sulut Meidy Y Tinangon bersama Sekretaris Billy Kawuwung kepada Telegrafnews Rabu (16/11) 2016
Menurutnya penelusuran pihaknya terdapat banyak pelaku tindak pidana terorisme yang telah bebas atau mendapatkan remisi. Diantaranya, 6 Agustus 2014 narapidana kasus teroris, M Kholili dinyatakan bebas bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan Klas 1A Lowokwaru, Malang.
Pembebasan itu didasari remisi Idul Fitri 1435 H. Kholili dikenal sebagai anggota jaringan teroris pimpinan DR Azahari dan Noordin M Top, yang terlibat dalam insiden Bom Bali II.
Selanjutnya, Agustus 2016 terpidana terorisme Abu Bakar Baasyir yang pada 16 April 2016, dipindahkan dari LP Nusa Kambangan ke Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat mendapatkan remisi untuk kedua kalinya sepanjang tiga bulan.
Terpidana terorisme tersebut sudah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) ketika dia mendekam di Nusakambangan.
Kemudian, Agustus 2016, empat terpidana kasus terorisme penghuni lembaga pemasyarakatan yang ada di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, dinyatakan bebas dari hukuman.
“Mereka bebas setelah menerima remisi atau pengurangan hukuman dalam rangka Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-71 Kemerdekaan Republik Indonesia,” tuturnya.
Bukan hanya itu, Agustus 2016 sebanyak lima terpidana Kasus Terorisme di Lapas Kelas 1 Cipinang bebas setelah mendapatkan remisi. Bahkan Agustus 2016 tujuh napi kasus terorisme penghuni Lapas Kelas 1 Makassar mendapatkan remisi.
“Nah ini merupakan contoh yang bisa dijadikan pertimbangan,” katanya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka GAMKI Sulut meminta pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM untuk menghentikan pemberian remisi kepada terpidana terorisme.
“Stop remisi teroris! Kejahatan terorisme merupakan kejahatan luar biasa sebagaimana juga korupsi,” ujarnya.
Pelaku teror bisa saja menunjukkan sikap baik dalam tahanan namun terbukti melalui kasus bom molotov di Samarinda, sikap baik dalam lembaga pemasyarakatan ataupun juga mendapat pendidikan Pancasila yang menjadi syarat remisi, belum menjamin efek jera. Karena kejahatan terorisme merupakan kejahatan yang bersumber dari ideologi.
“Kami pun meminta dalam proses hukum terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa Samarinda dihukum seberat-beratnya,” pungkasnya. (martsindy rasuh)
Tidak ada komentar